Cari

Jumat, 11 Oktober 2013

Cafe Sufi dengan Menu Ma'rifat

Menu-menu Istimewa di Cafe Sufi yang akan
memberikan cita rasa mengenal diri dan
mengenal Allah. Silakan santap dan nikmati.
Menu Mengenal Diri
Di Cafe Sufi, sudah banyak orang berduyun-
duyun dengan wajah-wajah beragama, dari
mereka yang stress sampai mereka yang
kelihatan sumringah, menanti menu apa yang
bakal disuguhkan hari ini.
Rupanya di gerbang Cafe itu, terpambang
“Menu Istemewa hari ini”. Mereka berkemrumun
mebacanya, ingin segera berebut hidangannya.
Siapa pun dari mereka merasa belum kenal
dirinya sendiri, lalu mereka segera memesan
“Menu Mengenal Diri “.
Sajiannya adalah sejumlah menu yang
disiapkan dengan bumu-bumbu yang beraroma
ma’rifatullah. Karenaa Allah Swt, menjadikan
sebab kema’rifatan hamba kepada Tuhannya,
melalui pengenalan hamba pada dirinya,
“Siapa yang mengenal dirinya maka ia
mengenal Tuhannya.”
Maknanya, bumbunya disiapkan oleh kokinya:
Sang koki mengajak sebelum mencicipi masakan
ma’rifat ini, agar mereka mengenal dirinya
dengan wujud kehambaannya, karena dengan
demikian maka ia mengenal Tuhannya dengan
RububiyahNya.
Siapa mengenal dirinya dengan fananya, maka
dia mengenal Tuhannya dengan Baqa’Nya.
Siapa yang mengenal dirinya dengan kehampaan
dan serba salahlnya, maka ia mengenal
Tuhannya dengan keselarasan dan anugerahNya.
Siapa mengenal dirinya dengan rasa butuhnya,
maka dia mengenal Tuhannya dengan menegakkan
rasa sangat terdesak untuk menuju hanya
kepada dan bagi Allah.
Setelah itu mereka diajak secara berjama’ah
untuk mengenal dirinya hanya bagi Tuhannya,
maka sedikit sekali kebutuhan kepada selain
Allah.
“Apakah masih ada menu tambahan?” Tanya
seorang pelanggan.
“Menu ini, dengan bumbu-bumbunya sudah cukup
bagi anda. Bagaimana anda merasa kurang
ketika belum mulai memasaknya?” kata koki.
Menu Mengenal Allah
Setelah mereka memasak secara bersamaan menu
mengenal diri, mereka pun merasakan dan
memakannya dengan kondisi ruhani mereka
masing-masing. Semakin banyak memakan sajian
itu semakin lapar jiwanya, semakin dahaga
batinnya, semakin ingin dan ingin menabah
lagi. Sang koki memberikan arahan agar
menuju bilik “Ma’rifatullah”.
Bumbunya disiapkan dengan olahan hidayah
dariNya. Ditambah dengan cara mengolahnya
penuh semangat menegakkan hak-hak
RububiyahNya, lalu dirasakan dengan
tasyakkur atas balasanNya.
Sebelum memulai, mereka harus bersama-sama
melihat dirinya yang fana penuh kehambaan,
lalu mulai dengan raihan:
Siapa mengenal Allah melalui hidayah, maka
ia pasti menyerahkan sepenuhnya kepadaNya.
Siapa mengenal Allah melalui RububiyahNya,
ia tegak dengan prasyarat Ubudiyah
kepadaNya.
Siapa mengenal Allah melalui balasanNya,
maka terjadilah rasa mohon pertolongan
padaNya.
mengenal Allah melalui kecukupan dariNya,
maka ia tidak butuh kepada selain DiriNya
Mereka semakin fana’ ketika mencicipinya,
bahkan semakin Baqa’ dalam Baqa’Nya, semakin
baqa’ malah semakin fana’. Wallahu A’lam,
masing-masing merasakan sesuai dengan
kesiapan jiwanya.
Menu yang dihindari dalam Mengenal Allah
Usai menikmati menu ma’rifatullah, mereka
pulang ke wilayah ruhani masing-masing. Tapi
dari manajemen Cafe Sufi memberikan cendera
qalbu yang sangat istemewa agar mereka tetap
teguh dan istiqomah.
Mereka dapatkan oleh-oleh menu yang tak
kalah istemewanya. Karena banyak bumbu yang
luar biasa dalam meningkatkan gairah ruhani,
dan hal-hal yang harus benar-benar
dihindari.
Misalnya, menu ini harus dihindarkan dari
campur aduk kepentingan selain Allah azza
wa-Jalla, dihindarkan dari kepuasan pada
selain Allah Swt, dan dihindarkan dari sisa-
sisa kemakhlukan dalam hatinya.
Lalu tertuilislah dalam kenang-kenangan itu:
Siapa yang mengenal Allah, sedang dalam
qalbunya ada hasrat selain Allah, berarti
tak pernah sujud yang sejati kepada Allah.
Siapa yang mengenal Allah, sedang ia tidak
merasa cukup bersama Allah, maka Allah tidak
pernah mencukupinya.
Siapa yang berkata, “Allah” namun dalam
hatinya masih tersisa selain Allah,
sesungguhnya ia tidak pernah berkata
“Allah”.
Memang, siapa yang takut kepada Allah dalam
segala hal, maka Allah memberikan rasa aman
dari ancaman segala hal.
Siapa yang bahagia dengan Tuhannya, maka
segala hal selain diriNya tak membuatnya
gentar.
Siapa yang mencari kemuliaan kepada Yang
Empunya Sifat Mulia, maka ia pun jadi mulia.
Siapa yang mencari kemuliaan selain DiriNya,
maka tak ada kebanggaan dan tak ada
kemuliaan yang didapatinya.
Siapa yang putus dari sebab akibat dunia
yang bisa menyibukkan dari Allah Swt, maka
ia akan bertemu dengan segala kesibukan yang
menyambungkan dirinya pada Allah Swt.
Siapa yang meninggalkan ikatan
ketergantungan pada makhluk, ia akan bahagia
dalam seluruh waktunya.
Siapa yang merasakan manisnya dzikir pada
Tuhannya, ia akan bosan mengingat selain
Allah.
Siapa yang menyembunyikan rahasia hatinya,
akan muncul rahasia-rahasia tersembunyi
padanya.
Siapa yang menjadikan hasratnya adalah Satu
hasrat kepadaNya, maka Allah mencukupi
seluruh hasratnya.
Siapa yang mencari ridlo Tuhannya, ia tak
akan pernah peduli dengan kebencian selain
Allah.
Siapa yang merasa cukup puas dengan maqom
(posisi ruhani)nya, ia malah terhijab dari
apa yang di depannya (maqom lebih tinggi).
Siapa yang dekat kepada Allah, maka segala
hal selain Allah terasa asing.
Siapa yang menghendaki kemuliaan dunia
akhirat, hendaknya ia memutuskan diri hanya
kepada Sang Pemilik dunia akhirat.
Siapa yang meninggalkan kebaikan menjaga
diri, ia akan terpleset dari jalan hidayah.
Siapa yang hendak minum dari Cinta Allah
satu tegukan, hendaknya ia juga minum dengan
memuntahkan segala hal selain Allah.
Siapa yang mesra bahagia dengan selain
Allah, segalanya membuatnya jadi gentar.
Siapa yang hatinya tenteram pada selain
Allah, maka ia tak dapat apa pun dari Allah
Swt.
Wuuih, betapa bahagianya mereka pulang ke
wilayah semesta dengan oleh-oleh itu.
Subhanallah!

Senin, 07 Oktober 2013

Humor Sufi (teori kebutuhan)

Nasrudin berbincang-
bincang dengan hakim kota. Hakim kota,
seperti umumnya cendekiawan masa itu,
sering berpikir hanya dari satu sisi saja.
Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau
mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang
harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum
lah yang harus disesuaikan dengan
kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita
lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda
memiliki pilihan: kekayaan atau
kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya
memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda
adalah cendekiawan yang diakui masyarakat.
Dan Anda memilih kekayaan daripada
kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan
Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih
kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua
orang memilih untuk memperoleh apa yang
belum dimilikinya."

Sabtu, 05 Oktober 2013

Jika Surga dan Neraka tak pernah ada...?

Bismillahir-Rahmanir-Rahim...
Sahabatku tercinta .., iblis selalu
membisikan permusuhan dengan manusia,
sebagaimana proklamasi permusuhan setan
dengan adam as.
Ketika adam as. turun ke bumi, maka iblis
berkata “Tuhan, bukankah telah saya katakan
bahwa adam akan menentang perintahmu
menjauhi pohon khuldi, serta mematuhiku.
Siapa yang mematuhi sesuatu berarti ia
menjadi hambanya. Dan aku telah menang
atasnya.
Kemudian Allah berkata, “Lalu apa yang kau
mau ?”
Iblis menjawab, “Kuasakan aku atasnya”
Allah berkata, “pergilah! Aku telah
menguasakanmu atasnya. Tuntutlah apa yang
kau inginkan darinya! “
Iblis menjawab, “karena Engkau telah memberi
kuasa kepadaku, maka dengan kekuasanMu, aku
akan menyesatkannya berikut semua
keturunannya.”
Allah berkata, “Di antara mereka ada para
hamba yang ikhlas yang kamu tidak mempunyai
kuasa atas mereka. Kamu hanya berkuasa atas
orang-orang sesat yang mengikutimu.”
Iblis terlaknat itu kemudian berkata,
“Kecuali para hambamu yang ikhlas”. Ia pun
menyetujui dengan pengecualian yang sudah
dikecualikan Allah swt. Iblis kemudian
berkata, “Tuhan, karena Engkau telah
menguasakan aku atas Adam dan memberi apa
yang aku minta, maka tambahkan kekuatan
kepadaku ! “ Mohon iblis.
Allah berkata, “Engkau bisa mengalir dalam
darahnya”
“Aku pasti akan kalah kalau dia
mengingatmu”, kata iblis lagi.
Allah berkata, “Aku telah memberinya sifat
lupa, alpa dan lalai”
“Dia akan mengalahkanku dengan keturunannya
yang banyak”, timpal iblis lagi
“Kalau dia beranak, kamu juga akan mempunyai
anak”, begitu kata Allah.
“Dia akan mengalahkanku dengan kekuatan yang
ada pada dirinya”
“Allah berkata “Kerahkan pasukan berkuda dan
pasukanmu yang berjalan kaki untuk
menghadapi mereka. Lalu berserikatlah dengan
mereka dalam hal harta dan anak-anak, serta
beri mereka janji bahwa tidak ada surga dan
neraka.”
Iblis menjawab, “Engkau telah memenuhi
keinginanku. Oleh karenanya aku akan
mendatangi mereka dari arah depan (yang dari
arah ini aku buat dunia memperdaya mereka),
lalu dari arah belakang (yang dari arah ini
aku menipu mereka agar berbuat dosa), dari
arah kanan (yang dari arah ini aku buat
mereka lalai), serta dari arah kiri (yang
dari arah ini aku buat mereka menangguhkan
taubat).”
Adam kemudian berkata, “Engkau telah memberi
peluang kepada musuhMu untuk menguasaiku dan
mendukungnya dengan kekuatanMu. Lalu
bagaimana aku bisa melawannya ?” Tanya Adam
suatu ketika.
“Kulindungi engkau dengan malaikat-Ku”,
jawab Allah “Tambahkan kekuatan lain
untukku !”, Kata Adam. “Aku tidak akan
menghukummu jika engkau alpa dan lupa”
“Tambahkan karuniamu lagi !” “Aku tidak akan
menuliskan dosa atas niat burukmu”.
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Allah menjawab
permintaan Adam, “Jika kamu tidak jadi
melakukan niat burukmu, Aku tulis niat buruk
yang tidak jadi itu sebagai suatu kebaikan”
“Tambahkan lagi, untukku !” “Aku akan
menuliskan pahala untukmu atas niat baikmu”,
kata Allah
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “”Jika kamu
mengerjakan niat baik tersebut, kebaikan itu
akan ditulis sebanyak sepuluh kali lipat”.
“Tambahkan lagi, ya Allah !” “”Aku akan
menambahnya hingga tujuh ratus kali lipat”,
begitu Allah memenuhi permintaan Adam.
“Tambahkan lagi”, kata Adam belum puas.
“Hingga berkali-kali lipat”, Tuhan memenuhi.
“Tambahkan lagi, Tuhan !”. “Rahmat-Ku
mendahului murka-Ku”, begitu kata Tuhan”
“Tuhan, dia mengalahkanku dengan tentara dan
pasukan berkudanya”
“Setiap kali kamu melahirkan seorang anak,
Aku pasti mengutus malaikat untuk
menjaganya”, jawab Allah (QS Al-Ra’d
[13]:11)
“Tambahkan lagi, Tuhan !”
“Pintu tobat terbuka untukmu jika kamu mau
bertobat, yang juga terbuka bagi keturunanmu
yang bertobat setahun sebelum meninggal”.
“Tambahkan lagi, Tuhan !”
“Pintu tobat terbuka bagi keturunanmu yang
bertobat sebulan sebelum meninggal”
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Pintu tobat
terbuka bagi keturunanmu yang bertobat sejam
sebelum meninggal”
“Tambahkan lagi, Tuhan !”
“Pintu tobat terbuka bagi keturunanmu yang
bertobat selama ajal belum sampai
kerongkongan”
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Aku turunkan
untukmu kitab suci-Ku”
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Aku kirim untukmu
para rasul-Ku”
“Tambahkan lagi, Tuhan !”
“Aku perkuat kamu dengan kebenaran yang
selama kamu berpegang kepadanya, iblis tidak
akan mengalahkanmu. “
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Aku ajarkan
kepadamu tentang firmanKu”
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Aku jadikan adzan
sebagai warisan bagi anak keturunanmu”
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Aku jadikan
mesjid yang di tempat itu engkau bisa
mengunjungiku”
“Tambahkan lagi, Tuhan !” “Aku jadikan
dzikir mengingatku sebagai minuman untukmu”
“Lalu apa yang menjadi prajuritku ?”
“Segala yang melingkari pimpinan mereka.
Pimpinan mereka adalah akal”. “Akal adalah
raja. Ia memiliki kekuasaan berupa makrifat.
Pemimpinnya berupa akal. Sumbernya adalah
otak. Tempatnya berada di shadr (dada), dan
kekuasaanya berada di seluruh tubuh. Ia
memiliki seratus pembantu yang mempunyai
tugas masing-masing.”
Iblis kemudian berkata “Engkau telah
menguasakan ku atas adam setelah sebelumnya
Engkau membuatku terhina dan terusir di
hadapannya. Semua yang didapat Adam itu juga
setelah engkau lepaskan pakaian kemuliaan
dariku dan busana malaikatku. Engkau juga
telah memberinya perangkat perang lengkap
dengan pasukannya. Engkau membelanya,
menguatkannya, serta mengobarkan perang
antara diriku dan dirinya. Kelau demikian,
apa yang menjadi perangkat dan prajuritku ?”
Begitu Iblis mulai berargumen.
“Apa yang kau mau ?” Tanya Allah.
“Engkau memberinya kitab suci, lalu apa
kitabku ?” Tuntut Iblis. “Kitabmu adalah
tato”, jawab Allah.
“Lalu, apa rasul untukku ?” “Para dukun”,
jawab Allah. “Apa bahan
pembicaraanku ?”Allah menjawab,
“Kebohongan”. “Apa Al Quranku ?” Allah
menjawab,“Syair”. “Apa perangkat
penyeruku ?” Allah menjawab,“Seruling”. “Apa
masjidku ?” Allah menjawab,“Pasar”. “Apa
rumahku ?”Allah menjawab, “Kamar kecil dan
gereja”. “Apa makananku ?” Allah
menjawab,“Semua makanan yang tidak disebut
namaku”. “Apa minumanku ?” Allah
menjawab,“Segala yang memabukkan”. “Apa
perangkapku ?” Allah menjawab,“Wanita”.
“Engkau berikan prajurit kepada Adam. Lalu,
apa prajuritku ?”, protes iblis. “Segala
sesuatu yang menyebabkan segala perangai
buruk dan hawa nafsu dapat menguasai adam.
Dengan semua itu, mahluk terlaknat itu pun
merasa puas.
Nah sahabatku, lihatlah pada cerita yang di
paparkan di atas. Setan menyerang kita dari
depan, belakang, kiri dan kanan... Hanya
dengan keikhlasan yg tulus kepada Allah,
mereka tak berdaya terhadap kita semua....
Ikhlas, tidaklah sesederhana yang
didefinisikan oleh orang awam. Ikhlas
memiliki tingkatan-tingkatan yang harus kita
daki. Bahkan terdapat suatu keiklasan yang
sangat sulit untuk dicapai. Hanya orang-
orang yang dibantu Allah saja yang dapat
mencapainya. Sebagaimana Abu Ya’qub as-Susy
mengatakan, “Apabila mereka melihat
keikhlasan dalam keikhlasannya, maka
keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan
lagi.” Cacat keikhlasan dari masing-masing
orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan
keikhlasannya itu. Jika Allah menghendaki
untuk memurnikan keikhlasannya, maka Dia
akan menggugurkan keikhlasannya dengan cara
tidak memandang keikhlasannya sendiri, dan
jadilah ia sebagai orang yang diikhlaskan
Allah swt. (Mukhlas), bukannya berikhlas
(Mukhlish)
Teladanilah orang-orang yang ikhlas,
sahabatku, karena sebagian orang arif
berkata, “Tidak seorangpun hamba yang
ikhlash selama empat puluh hari, kecuali
akan mendapatkan sumber hikmah memancar dari
hati pada lisannya.
Suatu hari, beberapa waliyullah melihat
Rabi’ah menyusuri jalan denga api di tangan
kirinya dan air di tangan kanannya.
“Perempuan surga, ke mana engkau akan pergi
dan apa maksud perbuatanmu ini ?”
Rabi’ah menjawab, “Aku akan membakar surga
dan menyiramkan air ke dalam api neraka,
sehingga kedua hijab itu bisa terangkat dari
mereka yang mencari-Nya, agar mereka ikhlas
dalam menjaga hati. Hamba Allah akan belajar
untuk melihat-Nya tanpa harapan akan pahala
atau takut akan siksa. Sebagaimana yang
terjadi sekarang, jika engkau menarik
harapan akan pahala atau takut akan siksa,
niscaya tak akan ada seorang pun yang
beribadah atau taat. [Di kutip dari Syams
Al-Din Ahmad aflaki, Manaqib Al-Arifin
(Kebijakan-kebijakan orang-orang arif), Vol
1 (Teheran : Dunya-i Kitab 1983), h. 396]
Nah sahabatku, lihatlah pada cerita yang di
paparkan di atas...
seorang legenda ahli-Allah, Rabi’ah Al-
Adawiyah (w. 185H / 801 M) atau sering juga
dipanggil Rabi’ah Al-Bashrah telah
mengajarkan kita makna ikhlas yang lebih
dalam. Ikhlas tidak lagi hanya didefinisikan
hanya sebagai : menjadikan Allah swt.
sebagai satu-satunya sesembahan, dan menjadi
tujuan semua amal. Ikhlas tidak lagi hanya
didefinisikan sebagai : mensucikan amal
perbuatan dari campur tangan sesama mahluk.
Rupanya definisi ikhlas dari Rabi’ah adalah
definisi yang diceritakan oleh malaikat
jibril, ketika Nabi Muhammad saw. Bertanya,
apa itu ikhlash : “Aku bertanya kepada
Jibril as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas
itu ? Lalu Jibril berkata : ‘Aku bertanya
kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas,
apakah sebenarnya ?’ Allah swt. menjawab ,
‘Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku
tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang
kucintai.” (H.r. Al-Qazwini meriwayatkan
dari Hudzaifah)
Sahabatku, semoga kita dapat menjadi orang
yang ikhlas (mukhlish), karena hanya seorang
mukhlish yang bisa mendefinisikan riya.
Sebagaimana definisi Al-Junayd tentang
ikhlas : “Keikhlasan adalah rahasia antara
Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat
pencatat tidak mengetahui sedikitpun
mengenainya untuk dapat dituliskannya, setan
tidak mengetahuinya hingga tidak dapat
merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya
sehingga ia tidak mampu mempengaruhinya.”
Nah, Sahabatku, Rabi’ah telah membukakan
salah satu sisi pintu kerahasiaan ikhlas.
Ikhlas terjadi manakala kita mengeluarkan
(tidak berkompromi dengan) mahluk dalam
bermuamalah dengan Allah. Dengan demikian
kita tidak lagi memperdulikan surga
(mahluk), maupun neraka (mahluk) dalam
beribadah. Yang kita inginkan dari ibadah
kita adalah Pemilik surga dan neraka.
Sebagaimana seseorang yang benar-benar
mencintai kekasihnya, maka ia pun akan
bersabar terhadap ketentuan kekasihnya, dan
ia tidak akan memperdulikan harta kekayaan
dan jabatan yang dimiliki sang kekasihnya.
Yang diinginkannya hanyalah kekasihnya saja.
Itu cukup baginya....
Nah sekarang, jika surga dan neraka tak
pernah ada, masih maukah kita beribadah
kepada-Nya dengan
ikhlas... ? ..? .... ??? ..
Semoga Bermanfaat dan Penuh Kebarokahan Dari
Allah ...

Jalan mencari TUHAN

Manusia dalam kondisi alamiahnya
dibedakan dengan makhluk lainnya pertama-
tama bukanlah karena kemampuan akal
budinya, tetapi karena kehendak bebas dan
kemampuannya untuk memperbaiki dan
menyempurnakan diri secara terus menerus.
Dalam konsep fitrahnya, manusia ada
(eksistensi) terlebih dahulu baru
kemudian menyusun esensinya (ke-apa-an)
nya. Contohnya : “Bambang, misalnya, ada
terlebih dahulu, baru kemudian dia
menyusun sendiri esensinya menurut
kehendak bebasnya (free will). Dengan
kehendak bebas yang ada padanya, Bambang
bisa menjadi apa (esensi) saja seperti
menjadi seorang presiden, Menteri,
akademisi, ulama, jenderal, pengusaha,
lawyer, dsbnya.” Ketika manusia itu ada,
maka secara alamiah manusia akan menapaki
esensinya dan memutuskan menjadi apa,
ketika memutuskan menjadi apa, maka
manusia itu berada pada wilayah bebas
sebebas-bebasnya. Dengan bahasa lain,
manusia dilahirkan untuk bebas, bukan
untuk dipenjarakan. Kebebasan bukanlah
rahmat bagi manusia, kebebasan juga
bukanlah sebuah ciri yang membedakan
manusia dengan yang lain, tapi manusia
adalah kebebasan itu sendiri.
Kebebasan manusia ketika memutuskan
menjadi apa, juga berlaku dalam kebebasan
menetukan jalan dan pilihan
religiusitasnya, karena religiusitas
adalah tahapan tertinggi dari kemanusiaan
seseorang, dimenasi religiusitas adalah
dimensi :mengalami dan merasakan
kehadiran” (dalam konteks pemikiran, ini
disebut dengan metafisika) pengalaman
kehadiran ini levelnya diatas wahyu yang
hanya sebuah “teks” semata. Tuhan itu
bukan untuk dipercayai, tetapi untuk
dijumpai dan menyatukan diri dengan Tuhan
dalam rupa dan wujud sebenar-benarnya,
bukan spekulatif. Hanya mempercayai
Tuhan, tetapi tanpa pernah bisa
menjumpainya, maka ini adalah sebagai
sebuah bentuk pengingkaran terhadap
eksistensi kemanusiaannya yang harus
bebas melakukan pencariannya bertemu
dengan Tuhan.
Sebenarnya, manusia dalam tubuh dan
kesadarannya yang selalu dibawa kemana
saja punya kebebasan yang tidak terbatas
untuk menentukan sendiri religiusitasnya
(jalan menemukan dan menjumpai Tuhannya).
Jalan yang harus ditempuh manusia adalah
jalan mencari dan terus mencari sampai
dia menemukan yang sebenarnya dalam wujud
hakikat. Namun dalam perjalanan
sejarahnya banyak manusia yang menganggap
bahwa “doktrin-doktrin teologis syaria’at
dan Fiqhism” sebagai puncak dari segala
pencarian, ketika manusia menganggap ini
sebagai puncak perjalanan
religiusitasnya, maka ini secara tidak
lansung adalah bentuk pengingkaran
terhadap “kebebasan” manusia, kenapa?,
karena potensi kebebasannya menemukan
religiusitas yang sebenarnya yang masih
ada dan belum selesai tidak diarahkan
secara penuh tetapi malah berhenti pada
level syari’at.
Kita juga bisa memahami, kenapa banyak
manusia berhenti dilevel ini. tidak lain
adalah karena ketakutan terhadap doktrin
bangunan teologis yang hadir dengan kata-
kata “Murtad, sesat ” bagi orang-orang
yang terus menempuh jalur-jalur
religiusitasnya. Religiusitas adalah
lompatan iman tertinggi, jadi berada di
level syariat belum bisa dikatakan
“religius”. Konsep kebebasan disini, yang
harus dipegang teguh oleh siapapun
manusia dimuka bumi adalah : “Bahwa,
tidak boleh mengatakan sesat dan
sebagainya, kepada para penempuh jalan
menemukan religiusitas yang sebenarnya”.
Karena ketentuan-ketentuan doktrinal
agama adalah sesuatu yang harus terus
diperiksa dan dipertanyakan oleh manusia
dalam jalan menemukan Tuhan.
Lebih lengkpanya, kita dapat menemukan
inti dalam tiga proses perjalanan manusia
menempuh jalur religiusitas sebenanrya,
yaitu :
Pertama, sikap estetis, yaitu sikap yang
“sangat bebas”, dimana semua kemungkinan
diperiksa, sekaligus menolak semua
kaidah-kaidah yang membatasi kemungkinan
tersebut. dengan cara hidup demikian,
manusia memang dihadapkan pada pilihan-
pilihan. Dan manusia harus memilih, dalam
memilih, manusia mengisi kebebasannya dan
bereksistensi.
Kedua, sikap etis, dimana ia tidak lagi
memilih, tetapi mulai memasuki kaidah-
kaidah moral, menerima suara hati dan
menentukan arah hidup. Jelasnya, dalam
tahap ini manusia mulai mengakui
kelemahannya, misal kelemahan
pengetahuannya tentang hakikat Tuhan yang
sebenarnya, tetapi ia belum sadar bahwa
“ia membutuhkan pertolongan dari atas”,
jika tahap ini sudah dilewati, maka
manusia melompat ke tahap yang lebih
tinggi, yakni sikap religius.
Ketiga, sikap religius, dimana manusia
sudah percaya kepada Allah, namun,
percaya begitu saja amatlah mudah. Yang
diperlukan adalah “manusia percaya kepada
Allah berdasarkan pergumulan, pencarian,
pertanyaan-pertanyaan kita terhadap yang
kita percayai itu”. Lebih mudahnya Ini
dapat kita istilahkan dengan
“religiusitas A” (agama yang diajarkan
orang-orang umum) dan “religiusitas
B” (agama berdasarkan pencarian sampai
menemukan yang sebenarnya). Disini,
religiusitas yang sebenarnya adalah
“religiusitas B”. Model religiusitas A
adalah religiusitas yang sangat mudah dan
banyak sekali, artinya ini kebanyakan
orang (mayoritas) dan manusia yang berada
dilevel ini bukanlah pilihan, karena
tidak pernah menggunakan kebebasannya
untuk memeriksa, mempertanyakan tetapi
hanya menerima saja dengan segala “sikap
percaya diri penuh” bahwa ini sudah
final. Model “religiusitas A” adalah
“penonton” dan “model religiusitas B”
adalah “pemain”, insan-insan unggul yang
akan menentukan jalan dan roda sejarah
kehidupan.
Tarekat adalah satu-satunya jalan
(metode) yang bisa menyambut dan
menyahuti kebebasan manusia dalam ketiga
proses perjalan manusia menempuh jalan
religiusitas di atas. Hanya dalam tarekat
manusia akan mengalami kebebasan secara
penuh. Terkait kebebasan tersebut, maka
semakin cepat manusia bekerja menemukan
esensinya religiusitasnya (perjumpaan dan
penyatuan dengan Tuhan), maka semakin
sempurna esensinya sebagai manusia.
Perjalanan yang harus ditempuh sebagai
sebuah lompatan besar kesempurnaan selaku
manusia yang bebas adalah 1. Perjalanan
menuju Tuhan. 2). Perjalanan bersama
Tuhan ; 3). Menyatukan diri bersama Tuhan
tanpa kemanusiaan lagi dan 4). Perjalanan
kembali bersama manusia dalam segala
persfektif ketuhanannya. Oleh karena itu,
menjalani tareqat adalah menjalani
kesempurnaan manusia, dan merupakan jalan
pembebasan manusia, sehingga potensi
manusia sebaagi rahmatan lil’alamin
tercapai, karena manusia yang dihasilkan
dari tareqat adalah manusia yang tidak
lagi berbuat kekacauan, tidak spekulatif
lagi, tidak lagi diliputi kecemasan
antara dosa dan pahala, antara surga dan
neraka, karena semuanya sudah jelas. Dan
orang-orang yang telah berada dalam
“Arasy Tarekat” bukanlah orang-orang
sembarangan, mereka adalah orang-orang
pilihan, yang sadar betul akan konsep
kebebasan menemukan religiusitas yang
sebenarnya, mereka adalah insan-insan
yang “ diperlukan sejarah dan dibutuhkan
dunia saat ini”.
Apakah setelah bertarekat manusia tidak
bebas lagi?. Maka jawabannya adalah
manusia tetap bebas sebebas-bebasnya,
karena dia telah sampai kepada piramida
tertinggi, dan ketika menuruni tangga
kebawah, dia bisa turun dari arah
manapun, dan setiap saat dia bisa kembali
lagi menaiki tangga tersebut menuju
puncak dari arah manapun yang dia
kehendaki. Esensi menemukan Tuhan sebagai
puncak tertinggi telah didapat, setelah
itu dia tentu diliputi kesenangan yang
tidak bisa digambarkan. Konsep kebebasan
manusia yang sangat sehat justru didapat
dalam kontek tarekat, yaitu sebuah
konteks yang tidak pernah mencampur
adukkan antara urusan-urusan ilahiyah
dengan urusan lainnya, politik misalnya,
yang membuka peluang menjual ayat untuk
kepentingan politik. dalam tarekat,
urusan duniawi manusia adalah urusan
kebebasan masing-masing (menentukan
pilihan politiknya, jalur dan model
ekonomi untuk kesejahterannya, dsbnya)
tanpa doktrin-doktrin mengekang.
Definisi Islam sebagai agama adalah
“penyerahan diri total”. Penyerahan diri
total ini akan kehilangan esensi dan
maknanya jika dibaca dalam konteks
spekulatif (ketidak pastian), penyerahan
diri totalnya tersebut karena iming-iming
surga dan ketakutan terhadap neraka,
keinginan kelimpahan pahala dan
menghindarkan diri jauh-jauh dari dosa.
Kepasrahan total itu akan bermakna dan
menjadi seutuhnya ketika manusia
melompati keimanannya dalam tiga tahap
selanjutnya pasca syariat, yaitu tareqat,
menuju kepada hakikat (inti, esensi,
kebenaran) dan makrifat (mengalami
keadaan kehadiran Tuhan dan mengalami ke
“ada” an Tuhan yang sebenarnya, tanpa
spekulasi, tanpa hijab dan tabir), dalam
kondisi makrifat inilah puncak piramida
pembebasan, karena manusia itu berasal
dari ketiadaan, kemudian menjadi ada,
kemudian dia diberikan kebebasan untuk
menjadi esensi “apa” dan kemudian dia
kembali kepada pemilik “ada” tersebut,
yang telah ‘ada” sebelum kata-kata “ada”
itu “ada”.
Tugas besar yang harus dilakukan sebagai
manusia di semesta adalah bersama-sama
menyelamatkan umat manusia dari “penjara-
penjara teologis” warisan ribuan tahun
lalu, yang telah di dekonstruksi oleh
strktur kekuasaan, untuk kepentingan
kekuasaan, menjauhkan umat manusia dari
pemahaman, pendefinisian Tuhan yang
sebenarnya dan menjauhkan manusia dari
kemanusiaannya yang integral, menjadi
manusia yang saling membenci satu sama
lain hanya karena iman yang dianggap
benar, padahal masih spekulatif. Kini
tugas kita yang harus kita lakukan adalah
“mendekonstruksi” kembali “bangunan
teologis warisan kerajaan-kerajaan
tersebut”, kita harus terus berkata,
“sejarah hari ini tidka butuh lagi
teologi kerajaan seperti ini, kita hanya
butuh teologi kehidupan, agar manusia
dunia menemukan kesejatian eksistensi dan
esensi mereka selaku makhluk bebas dan
menemukan Tuhan dalam kebebasan mereka
mencari dan menemukan Tuhan, bukan
menemukan Tuhan karena keterpaksaan
“warisan” hierakhi-keluarga akibat
ditakut-takuti oleh dosa dan kemurtadan.
Ketika semua orang hampir mati dan beku
didalam sistem dan struktur hierakhis-
anarkhis keagamaan syariat, Sufi terus
berkreasi dan bekerja dalam segala
dimensi massa, ruang dan waktu sebagai
“ksatria-ksatria religius kesalehan
sosial” yang terus menerus membebaskan
manusia dengan kekuatan qalbu dan
rasionya sehingga yang beku menjadi cair
dan yang hampir mati hidup kembali.
Praktek-praktek tarekat merupakan proses
yang “Haq” dan “dibutuhkan sejarah”
sampai kapanpun, sehingga pagar-pagar
batas struktural dan sistem keagamaan
yang selama ini ibarat penjara-penjara
manusia menjadi runtuh berkeping-keping
sehingga manusia terbebaskan, tercerahkan
dari segala dimensi.

Perumpamaan hidup

“Dunia ini hanya terdiri atas tiga hari:
Kemarin, ia telah pergi bersama dengan
semua yang menyertainya. Besok, engkau
mungkin tak akan pernah menemuinya. Hari
ini, itulah yang kau punya, jadi
beramallah di sana.” – Hasan al Bashri

“Dunia ini ibarat bayangan: kejar dia dan
engkau tak akan pernah bisa menangkapnya;
balikkan badanmu darinya dan dia tak
punya pilihan lain kecuali mengikutimu.”
– Ibnu al-Qayyim

Kedewasaan Hidup

“Jangan takut menjadi tua, karena semua
pasti akan menua. Takutlah untuk menjadi
tak dewasa, karena kedewasaan merupakan
sikap yang menjadi jalan menuju kebahagiaan
dan kemuliaan” (Aa Gym)

“Kritik yang didasari pada kedengkian
cenderung akan menghina, mencaci, dan
menyakiti. Dan hasilnya bukan perubahan
melainkan kebencian dan permusuhan” (Aa
Gym)

Arti sebuah Cinta

Cinta bukanlah apa yang kita katakan,
tetapi apa yang kita lakukan dengan sebuah
pembuktian.

Didalam cinta, kamu harus lebih siap untuk
tersakiti. Karena cinta tidak selamanya
akan bersatu dan berakhir bahagia.

Cintai bahagia karena dia membuatmu ceria,
tapi cintai juga sedih karena dia
membuatmu dewasa.

SEMUA TENTANG RASA SYUKUR

“Rizki itu ibarat tangki mobil,
sudah ada takarannya gak bisa dilebihkan
atau dikurangi. Kalau dilebihkan bisa-bisa
luber dan kalau dikurangi bisa-bisa
pengemudi tidak sampai ke tujuan.”

"Jangan pernah berharap untuk lebih,berharap untuk bisa saja sudah cukup...jika kita berharap untuk mendapatkan yang lebih,niscaya setiap apa yang kita dapatkan tk akan pernah ada kata cukup dan tak akan pernah akan ada rasa syukur dalam hati..."

Insyaallah bermanfaat gan...

KEIKHLASAN

“Ada tiga tanda keikhlasan seseorang; jika
ia meganggap pujian dan celaan orang sama
saja, jika ia melupakan pekerjaan baiknya
kepada orang lain, dan jika ia lupa hak
kerja baiknya untuk memperoleh pahala di
akhirat”-Dzhunun al-Mishri